Minggu, 14 Desember 2008

BERAPA AIR YANG DIGELONTORKAN OLEH KERUSAKAN DAS

Luas DAS sungai Karang mumus sekitar 36.527,73 Ha = 365.277.300 m2. Bila DAS Karang mumus rusak 20%, dan kerusakan tersebut menyebabkan air hujan tidak tidak terserap/tertahan oleh kerusakan tersebut (menjadi lahan kedap air), maka akan ada 73.055.460 m2, luas lahan yang tidak mampu meresapkan air hujan.


Bila turun hujan merata pada bagian yang rusak, misal curah hujan 20 mm, maka akan dibutuhkan truck tangki air berkapasitas 5000 liter sebanyak 292.221 truck disediakan untuk menampung air hujan dengan tinggi 20 mm. Kalau curah hujan terjadi 1 hari, dengan curah hujan 20 mm, bisa anda bayangkan berapa panjang barisan truck tangki yang terjadi...... bila panjang satu truck 3 m, akan ada barisan truck tangki berjajar 8 lapis , dengan panjang barisan dari Samarinda ke Balikpapan.... !!!! (bila Samarinda - Balikpapan 112 km)

Dengan adanya pembangunan, pastilah ada pemanfaatan lahan resapan (hutan, semak, embung, tegalan, rawa, saluran, anak sungai, halaman rumah) menjadi perumahan, mall, jalan, stadion, hotel, lapangan terbang, tempat parkir dan penambangan batu bara, sehingga kerusakan DAS Karang mumus akan semakin parah dan luasan kerusakan bertambah besar, dan ini berjalan terus karena aktivitas pembangunan masih berlangsung. Agar pembangunan tidak merusak lingkungan maka harus menerapkan konsep Pembangunan Berwawasan Lingkungan. (bagaimana?????)

Pengendalian banjir memang permasalahan kompleks, melibatkan banyak disiplin ilmu diantaranya hidrologi, lingkungan, hidrolika, ekonomi, hukum, sosial. Yang jelas luas daerah tangkapan air di Samarinda (DAS Sungai Karang mumus, DAS Sungai Karang Asam Kecil, DAS Sungai Karang Asam Besar, DAS Sungai Loabakung, dan DAS sungai lainnya), pelan tapi pasti luas resapan air semakin berkurang disebabkan aktivitas pembangunan oleh warga Samarinda (membangun perumahan, jalan, fasilitas umum, ruko, mall, stadion, lparkir, lapangan terbang, sawah, penambangan, dll). Sehingga air hujan yang tidak tertampung/teresap menjadi limpasan air permukaan dan menyebabkan banjir dengan debit yang lebih besar dan semakin cepat waktu puncak debit terjadi.

Sudah saatnya Pemerintah kota Samarinda mengambil tindakan tegas dalam rangka pengendalian banjir, yaitu membuat rancangan komprehensiv Tata Guna Lahan yang Berwawasan Lingkungan. Pemerintah harus membuat regulasinya dan syarat-syarat/peraturan dengan rinci dan dijalankan dengan konsisten. Setiap aktivitas yang merubah tata guna lahan baik kecil ataupun besar harus memenuhi syarat/peraturan yang berlaku di Samarinda, bahkan untuk proyek fisik khususnya skala menengah dan besar wajib sudah ada hasil Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Dengan AMDAL yang serius (bukan formalitas), maka dampak positif dan negatif terhadap banyak aspek dari sebuah proyek dapat diperkirakan, bila berdampak negatif tentunya harus ada solusi penanggulangannya. Dengan demikian dampak negatif akibat pembangunan dapat ditekan sekecil mungkin.

Selama ini pengendalian banjir dominan dilakukan berorientasi teknis murni: pengaturan dan perbaikan sistem sungai (sistem jaringan sungai, normalisasi sungai, perlindungan tanggul, sudetan, dst); pembuatan Bangunan Pengendali Banjir (Bendungan/dam, kolam retensi, check dam/penangkap sedimen, polder, retarding basin, embung). Kegiatan pengendalian banjir dengan cara ini, berjalan dengan waktu akan muncul kembali karena akar masalahnya belum terselesaikan, yaitu masih berlangsung perambahan daerah resapan untuk kepentingan pemukiman, fasilitas umum, jalan, sawah, dst.

Jadi Syarat dan Regulasi Tata Guna Lahan adalah menjadi akar masalah, berapa persen untuk pemukiman, berapa persen untuk bangunan perdagangan, berapa persen untuk hutan kota, berapa persen untuk waduk, berapa persen untuk infrastruktur, berapa persen untuk sawah atau kebun, berapa persen untuk rawa asli, berapa persen untuk tegalan, berapa persen embung/kolam retensi, dst.

Selain Syarat dan Tata Guna Lahan, perlu ada pengelolaan DAS, konservasi DAS, pengendalian erosi, pengelolaan daerah banjir (rendah), peramalan banjir, peringatan bahaya banjir, penanganan korban banjir, asuransi, dsb.

Harus dipikirkan pula penyediaan pemukiman di daerah padat yang sudah tidak diperkenankan lagi untuk melakukan pembukaan lahan perumahan, dengan penyediaan rumah susun (apartemen) untuk memenuhi perumahan bagi warga Samarinda.

Setiap rumah wajib membuat sumur resapan yang ditetapkan oleh pemerintah kota, berdasarkan lokasi rumah, karakteristik tanah, tinggi muka air tanah, prosentase luas sumur resapan terhadap luas tanah. Dan aturan penutupan halaman rumah dengan paving, atau bahan penutup yang dapat meresapkan air hujan.

Penyediaan fasilitas gedung bertingkat untuk kepentingan bersama pihak swasta, seperti kantor, toko, rumah makan, super market, tempat hiburan, khusunya di pusat kota Samarinda.

Pembangunan jalan kampung dan perumahan harus menggunakan bahan penutup berupa paving stone, yang dapat meresapkan air.

Sosialisasi mengenai membuang sampah pada tempatnya, melakukan pembersihan saluran dan sungai dari sampah, pemindahan dan relokasi pemukiman secara bertahap bagi warga yang tinggal diatas sungai.

Yang terakhir harus melakukan kegiatan pengendalian jumlah penduduk Samarinda, melalui sosialisasi Keluarga Berencana (KB, 2 anak cukup), serta menekan urbanisasi penduduk. Pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali (tanpa direncanakan dengan ketersediaan sumberdaya alam dan perekonomian setempat) implikasinya sangat besar dalam berbagai aspek kehidupan dan lingkungan. Penyediaan sumber daya alam, penyediaan lahan, penyediaan energi, penyediaan lapangan kerja, masalah sosial. Semakin bertambah penduduk kota semakin bertambah kebutuhan luas lahan untuk pemukiman, fasilitas umum, ruas jalan, fasilitas perdagangan, akhirnya menggangu kesetimbangan lingkungan, salah satu akibatnya adalah BANJIR.

Sebagai ilustrasi, Jakarta yang sudah sedemikian pesat pembangunannya, dan telah digelontorkan uang ratusan trilyun rupiah untuk pengendalian banjir, kawasan yang puluhan tahun lalu banjir sampai saat ini masih tetap kebanjiran, bahkan ketinggian dan lama genangan banjir lebih besar, celakanya muncul kawasan banjir baru. (konskwensi menjadi kota metropolitan, dengan adanya jalan dan bangunan semua air hujan secepatnya mengalir ke saluran drainase, tidak dimungkinkan ada peristiwa peresapan air ke tanah)


(oleh EkoPU)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

bagus-bagus Pak Info nya...... saya sangat tertarik tentang DAS :) terima Kasih Infonya....

salam kenal dari Palembang